Jakarta, Liputan9.co – Komposisi suara parpol hasil Pemilu 2019 memaksa terjadinya skema koalisi untuk mengusung paslon Presiden dan wakilnya. Kecuali PDI Perjuangan dengan 19,33% bisa mencalonkan Paslonnya sendiri tanpa wajib berkoalisi. Berbeda dengan 8 parpol besar kategori masuk electoral threshold yang kini sedang disibukkan memilih mitra koalisi. Rabu (06/09/23)
Komando koalisi parpol saat ini dipegang oleh Gerindra dengan 12,57% dan Nasdem dengan 9,05% suara. Pertanyaannya kenapa bukan Golkar sebagai 3 besar peringkat dengan 12,31% di bawah runner-up Gerindra?
Jawabannya karena Golkar dan Nasdem sesungguhnya satu gerbong, hanya beda logo dan warnanya. Di sisi lain Gerindra juga tidak jauh-jauh dari gerbong partai ex orba usai “tumbang” 1998 secara kontestasi, namun tidak dengan kekuatan politiknya.
Partai Golongan Karya yang “selamat” dari tumbal reformasi 1998 merubah namanya menjadi Partai Golkar dengan melahirkan anak-anak kandung bernama Gerindra dan Nasdem.
Keduanya kini sudah remaja dewasa dengan segala “kecentilannya” namun tetap mewarisi genre ibu kandungnya.
Nasdem dengan Surya Paloh-nya berinisiatif memegang kendali kordinasi partai-partai lain yang butuh berkoalisi. Sebaliknya Gerindra dengan “ke-Prabowoannya” 2 kali berpengalaman all out nyapres gagal, tinggal menunggu parpol kecil lain merapat padanya dengan magnet besarnya dana suksesi yang ditawarkannya.
Nasdem yang sibuk “merayu” parpol lain berkoalisi, sedangkan Gerindra duduk manis menunggu parpol datang padanya. Toh jika tidak ada yang datang, cukup bergandengan tangan dengan Golkar sudah cukup untuk mengajukan paslon.
Dan kini sudah terjadi, Golkar dan Gerindra berjabat tangan. Kemungkinan besar Paslon Prabowo-Airlangga tinggal menunggu timing menjadi paket orba yang paling hemat.
Skenario pilpres 3 paslon memang menjadi tujuan mereka. Bagaimana menjadikan Pilpres 2 putaran adalah target sumber pendapatan maksimal bagi partai-partai kecil lain. Kikuk Politik mendadak menghantui beberapa partai kecil. PKB, PKS, Demokrat, PAN akan berlabuh di gerbong Gerindra atau Nasdem penuh dengan intrik dan menjurus saling menyandera kepentingan.
Yang kemudian terjadi Prabowo dan Surya Paloh seperti terlihat sedang berseteru memperebutkan partai kecil sebagai tambahan suara. Cak Imin usai dideklarasikan menjadi cawapres Anies, mendadak diundang Prabowo untuk bertemu empat mata. Bagi yang paham intrik dan skandal politik, itu bisa diartikan negosiasi pragmatis.
Secara etika politik, gerbong Prabowo dan Surya Paloh jika pemilu 3 paslon, pada putaran kedua mereka akan bersatu dengan agenda mengalahkan Ganjar dari PDIP. Namun mengikuti sepak terjang partai Nasdem dan PKB, kecil kemungkinan etika sopan santun itu berlaku, hitungan matematika berbentuk transaksi akan lebih berperan menentukan koalisi pada putaran kedua. Babak baru sejarah Pilpres 2 putaran akan terjadi. Jangan membayangkan 2 putaran pada Pilkada DKI disamakan dengan Pilpres. Berbicara suksesi sebuah negara pasti ada kepentingan asing yang ikut berkontribusi.
Tahun politik 2023 memang unik. Saat para elite sibuk bermanuver, rakyat menjadi penonton yang baik. Tidak bisa ikut campur, namun sudah cerdas menandai siapa saja nama-nama yang sudah meneladankan kekonyolan dalam berpolitik.
Di saat elite parpol sibuk berseteru, di sudut lain Ganjar semakin leluasan turun ke bawah. Menyapa dan menyampaikan pemahaman bahwa sesungguhnya di tengah kericuhan para elite, penentu Pilpres ada di tangan rakyat.
Pak dhe Karjo, Yu Parmi, kang Cecep, abah Nana, cak Mahmud dan jutaan rakyat biasa lainnya tidak sudi menjadi asbak, buangan puntung rokok kegaduhan mereka.
Dalam riuh kegaduhan para elite, Ganjar sesungguhnya sudah menang sebelum hari pencoblosan. Dari suara mereka mereka yang sadar bahwa memilih berdasarkan nurani lebih penting daripada bergelayutan di ayunan partai politik.
Reporter : Edi & Wahyudi Red